Photo1937

Mesjid Raya Manambin

Sebenarnya catatan ini saya tulis waktu bulan puasa kemarin. Tapi entah kenapa saya lupa mempublish nya waktu itu. Tanpa sengaja ketika mengutak-atik laptop saya menemukannya kembali. Tentunya kali ini tidak akan saya biarkan lagi. Tulisan ini akan saya publishkan, meskipun lebaran sudah lewat jauh. Semoga saja ada pembelajaran yang bisa kita dapatkan dalam tulisan ini.

                                                      ***
Lebaran merupakan hari yang ditunggu-tunggu. Setelah sebulan lamanya berpuasa menahan haus dan lapar. Pantaslah rasanya kita sebagai umat islam merayakannya, karena telah berhasil melalui bulan suci ramadhan ini. Menjelang lebaran, saudara-saudara kita yang diperantauan banyak yang pulang kampung untuk bersua dan melepas rindu dengan sanak famili, dan tentunya bermaaf-maafan. Hari lebaran benar benar terasa istimewa. Karena semua keluarga bisa berkumpul kembali walaupun hanya dalam beberapa tempo hari saja.

Bicara soal lebaran. Ada beberapa tradisi yang mulai hilang dari kampung, seperti yang terjadi di kampung kami. Bagi yang lahir di tahun 90-an pasti masih ikut merasakannya, tapi mungkin itu adalah generasi terakhir yang ikut merasakan momen tersebut.

Kampung itu terletak di kaki gunung dengan topografi yang berbukit-bukit yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang rimbun. Sehingga kalau siang hari udara disini terasa sejuk dan malam harinya lumayan dinginlah.

Kalau dilihat dari puncak tor pasada roha maka kampung ini akan terlihat seperti bentuk kuali yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan ditengah-tengahnya terlihat beberapa titik titik kecil berwarna putih kemilauan. Titik kecil yang bercahaya itu adalah atap rumah penduduk yang terkena bias cahaya dibawah teriknya mentari siang ini.

Tiga hari sebelum lebaran biasanya para pemuda di kampung kami punya cara tersendiri menyambut malam takbiran. yaitu menyambutnya dengan dentuman meriam bambu. Para pemuda di desa akan mengambil bambu beramai-ramai kedalam hutan untuk menebang bambu.

Tak hanya satu atau dua batang saja. Ada banyak, dan di setiap sudut desa dipasang sekitar lima meriam bambu. Sehingga ketika meriam tersebut dibunyikan dari setiap sudut kampung, bunyinya akan saling bersahutan layaknya perang dunia, bersamaan dengan berkumandangnya takbiran di mesjid pada malam lebaran.

Kegiatan ini biasanya dimulai dari selepas sholat isya hingga fajar tiba. Sampai pagi ketika orang-orang mulai bergegas ke mesjid untuk menunaikan shalat id.

Tapi budaya meriam bambu ini tidak bertahan lama. Ketika terjadi kelangkaan minyak tanah dan harganya yang melonjak tinggi. Tradisi inipun perlahan-lahan mulai redup. Terkendala karena mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk membeli minyak tanah. Sehingga perlahan-lahan tradisi inipun hilang tergilas roda zaman.

Lain lagi halnya dengan para orangtua. Menjelang lebaran mereka selalu membuat kue untuk hari lebaran nanti. Seperti membuat dodol, memasak lemang sehari menjelang lebaran tiba serta kue sampit.

Waktu kecil saya selalu ikut berperan ambil bagian dalam pembuatan kue lebaran ini meskipun aku seorang anak lelaki, ada rasa bahagia tersendiri yang muncul dihati, ketika melihat kue-kue tersebut sudah tercetak.

Tradisi ini juga mulai menghilang dari masyarakat. Karena banyaknya berdatangan kue-kue lebaran yang menyerbu pasar tradisional baik dalam bentuk kaleng ataupun bingkisan yang lebih praktis. Sehingga orang-orang mulai beralih dan malas membuat kue tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun.

Dengan menjamurnya kue-kue lebaran tersebut dipasar. Maka kue tradisional inipun mulai tersingkir dan ditinggalkan oleh masyarakat. Selain karena proses pembuatannya yang rumit dan butuh waktu yang tidak sedikit. Masyarakat lebih memilih kue lebaran yang serba instan. Dengan merogoh beberapa lembar rupiah maka kue lebaran tersebut sudah ditangan.

Suatu hari nanti tradisi ini akan mati. Tak seorang pun yang akan mau dan bisa membuatnya lagi. Semuanya akan tinggal kenangan. Dan menjadi cerita pengantar tidur kepada anak cucu kita kelak. Bahwa dulu menjelang lebaran semuanya serba tradisional. Mulai dari meriam bambu, kue sampit, lemang dan dodol.

Kini, meriam bambu sudah diganti dengan mercun, dan kue tradisional sudah berubah menjadi kue kalengan. Lebaran sudah tidak menarik lagi seperti yang dulu.

Saat semua orang sibuk menyambut lebaran yang tinggal beberapa hari lagi. Para orang tua sibuk membuat kue, sedangkan pemudanya sibuk kehutan mencari meriam bambu. Akh, aku jadi merindukan masa kecilku dulu. Masa kecil tanpa gadget dan tanpa televisi. Semuanya serba natural dan alami.

Tinggalkan komentar