Arsip Kategori: tentang hidup

Rasa dalam secangkir kopi

kopi3

Siapa yang tidak mengenal jenis minuman yang satu ini. serbuk hitam dengan rasa pahit. Tapi hampir semua orang di dunia, terutama yang laki-laki menyukainya. Ketika kita pergi kedesa-desa disana kita akan menemukan lapau yang menyajikan kopi.

Ketika kita pergi ke café-café disudut kota, di sana kita akan menemukan kopi. Ada yang sudah diolah dan dicampur dengan bahan lain seperti susu, coklat, krim dan ada juga yang sudah dalam bentuk kemasan. Kopi sudah menjadi seperti sebuah kebutuhan. Tanpa kopi semuanya terasa hambar.

Seiring kemajuan teknologi. Pengolahan kopi pun semakin berkembang. Layaknya virus, kopi pun sudah menyebar hampir keseluruh dunia. Mulai dari pelosok desa yang paling dalam, sampai ke kota-kota besar di ujung dunia. Harganya bermacam-macam. Tergantung jenis campuran dan tempat dimana kita membelinya.

Kahlil gibran seorang sastrawan terkenal asal lebanon, penulis buku yang fenomenal seperti; sayap-sayap patah, taman sang nabi dan lainnya. Ketika menulis di dalam kamarnya, tak lupa ia menyeduh kopi dan menyalakan sebatang rokok. Sehingga kamarnya akan dipenuhi asap tembakau dan aroma kopi yamani. Katanya, ia merasa tenang dan mendapat inspirasi ketika ia menyeruput kopi.

Di dalam negri ada film filosopi kopi yang diangkat dari novel dewi lestari. Bercerita tentang seorang remaja pecinta kopi. Tapi sayang, saya belum menonton filmnya. Tapi membaca novelnya sudah.

Pagi yang dingin. Di akhir bulan november. Ketika saya sedang menyeduh secangkir kopi untuk menghangatkan badan dari dinginnya udara di musim penghujan ini. ketika sedang menyeruput kopi, saya merasakan adanya kenikmatan yang luar biasa di lidah. Ketika menyeruput kopi pagi ini, entah kenapa tiba-tiba saja saya teringat masa kecilku dulu sewaktu dikampung.

Dimana pada masa itu harga kopi melonjak naik dibandingkan komoditas pertanian yang lainnya, Orang-orang pun berbondong bondong menanam kopi. Sepanjang jalan di desa terhampar bijih kopi yang sedang dijemur. Sehingga kampung itu tercium aroma bau kopi. Kalau malam harinya ibu-ibu sibuk menumbuk kopi di teras rumah dan siangnya ke kebun memetik kopi yang sudah matang.

kopi

Manambin, sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu semua orang merasa bahagia, harga kopi yang tinggi dan buahnya yang menggumpal disetiap tangkai batangnya. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Musibah itupun datang. Harga kopi anjlok dipasaran. Semua orang panik dan kecewa.

Tapi apa daya. Mereka hanya bisa mengelus dada, karena bukan mereka yang menentukan harga. Perlahan tapi pasti kejayaan kopi itupun mulai redup. Satu persatu orang mulai meninggalkannya karena tidak sesuai lagi usaha yang dikeluarkan dengan hasil yang didapatkan. Kalau dalam ilmu ekonominya. Pengeluaran lebih besar daripada masukan.

Seiring dengan perjalanan waktu. Tanaman kopi pun mulai ditinggalkan orang. Orang mulai beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti karet yang waktu itu harganya mulai membaik. Dan tak butuh waktu lama. Masa keemasan kopi pun mulai redup di telan bumi. Beritanya seakan hilang menguap keudara.

Di warung kopi di kampung. orang-orang pun sudah tidak membicarakannya lagi. Orang mulai sibuk memikirkan komoditas apa lagi yang akan naik daun dan tentunya lebih menguntungkan.

Kini, setelah berselang beberapa tahun berlalu dan terdiam tanpa suara. Harga kopi dipasaran mulai membaik lagi seiring dengan jatuhnya harga karet dunia yang sempat berjaya beberapa tahun sesudah kejatuhan harga kopi dulu. Orang-orang pun kembali melirik kopi. Sudah mulai banyak orang yang menanam kopi di desa-desa.

Karena harga karet masa sekarang memang sudah terlampau menyakitkan. Terjun bebas dari dulu yang pernah mencapai kisaran harga dua puluh ribu rupiah per kg sekarang menjadi limaribu rupiah per kg. karena hal demikianlah orang pun mulai beralih lagi.

Terkadang dalam kehidupan ini lebih banyak rasa pahit yang kita rasakan bila dibandingkan rasa manisnya. Layaknya secangkir kopi hangat. Tapi dalam perpaduan pahit dan manis itulah kita menemukan arti hidup.

Saat terpuruk, akan mengajarkan kita arti sebuah kesabaran, dan saat berhasil, kita akan mengerti arti sebuah proses dan kerja keras. Yup. Secangkir kopi dan seduhannya pagi ini telah menghadirkan cerita bagi kehidupan kita.

Padang, 30 November 2015

Photo1937

Mesjid Raya Manambin

Sebenarnya catatan ini saya tulis waktu bulan puasa kemarin. Tapi entah kenapa saya lupa mempublish nya waktu itu. Tanpa sengaja ketika mengutak-atik laptop saya menemukannya kembali. Tentunya kali ini tidak akan saya biarkan lagi. Tulisan ini akan saya publishkan, meskipun lebaran sudah lewat jauh. Semoga saja ada pembelajaran yang bisa kita dapatkan dalam tulisan ini.

                                                      ***
Lebaran merupakan hari yang ditunggu-tunggu. Setelah sebulan lamanya berpuasa menahan haus dan lapar. Pantaslah rasanya kita sebagai umat islam merayakannya, karena telah berhasil melalui bulan suci ramadhan ini. Menjelang lebaran, saudara-saudara kita yang diperantauan banyak yang pulang kampung untuk bersua dan melepas rindu dengan sanak famili, dan tentunya bermaaf-maafan. Hari lebaran benar benar terasa istimewa. Karena semua keluarga bisa berkumpul kembali walaupun hanya dalam beberapa tempo hari saja.

Bicara soal lebaran. Ada beberapa tradisi yang mulai hilang dari kampung, seperti yang terjadi di kampung kami. Bagi yang lahir di tahun 90-an pasti masih ikut merasakannya, tapi mungkin itu adalah generasi terakhir yang ikut merasakan momen tersebut.

Kampung itu terletak di kaki gunung dengan topografi yang berbukit-bukit yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang rimbun. Sehingga kalau siang hari udara disini terasa sejuk dan malam harinya lumayan dinginlah.

Kalau dilihat dari puncak tor pasada roha maka kampung ini akan terlihat seperti bentuk kuali yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan ditengah-tengahnya terlihat beberapa titik titik kecil berwarna putih kemilauan. Titik kecil yang bercahaya itu adalah atap rumah penduduk yang terkena bias cahaya dibawah teriknya mentari siang ini.

Tiga hari sebelum lebaran biasanya para pemuda di kampung kami punya cara tersendiri menyambut malam takbiran. yaitu menyambutnya dengan dentuman meriam bambu. Para pemuda di desa akan mengambil bambu beramai-ramai kedalam hutan untuk menebang bambu.

Tak hanya satu atau dua batang saja. Ada banyak, dan di setiap sudut desa dipasang sekitar lima meriam bambu. Sehingga ketika meriam tersebut dibunyikan dari setiap sudut kampung, bunyinya akan saling bersahutan layaknya perang dunia, bersamaan dengan berkumandangnya takbiran di mesjid pada malam lebaran.

Kegiatan ini biasanya dimulai dari selepas sholat isya hingga fajar tiba. Sampai pagi ketika orang-orang mulai bergegas ke mesjid untuk menunaikan shalat id.

Tapi budaya meriam bambu ini tidak bertahan lama. Ketika terjadi kelangkaan minyak tanah dan harganya yang melonjak tinggi. Tradisi inipun perlahan-lahan mulai redup. Terkendala karena mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk membeli minyak tanah. Sehingga perlahan-lahan tradisi inipun hilang tergilas roda zaman.

Lain lagi halnya dengan para orangtua. Menjelang lebaran mereka selalu membuat kue untuk hari lebaran nanti. Seperti membuat dodol, memasak lemang sehari menjelang lebaran tiba serta kue sampit.

Waktu kecil saya selalu ikut berperan ambil bagian dalam pembuatan kue lebaran ini meskipun aku seorang anak lelaki, ada rasa bahagia tersendiri yang muncul dihati, ketika melihat kue-kue tersebut sudah tercetak.

Tradisi ini juga mulai menghilang dari masyarakat. Karena banyaknya berdatangan kue-kue lebaran yang menyerbu pasar tradisional baik dalam bentuk kaleng ataupun bingkisan yang lebih praktis. Sehingga orang-orang mulai beralih dan malas membuat kue tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun.

Dengan menjamurnya kue-kue lebaran tersebut dipasar. Maka kue tradisional inipun mulai tersingkir dan ditinggalkan oleh masyarakat. Selain karena proses pembuatannya yang rumit dan butuh waktu yang tidak sedikit. Masyarakat lebih memilih kue lebaran yang serba instan. Dengan merogoh beberapa lembar rupiah maka kue lebaran tersebut sudah ditangan.

Suatu hari nanti tradisi ini akan mati. Tak seorang pun yang akan mau dan bisa membuatnya lagi. Semuanya akan tinggal kenangan. Dan menjadi cerita pengantar tidur kepada anak cucu kita kelak. Bahwa dulu menjelang lebaran semuanya serba tradisional. Mulai dari meriam bambu, kue sampit, lemang dan dodol.

Kini, meriam bambu sudah diganti dengan mercun, dan kue tradisional sudah berubah menjadi kue kalengan. Lebaran sudah tidak menarik lagi seperti yang dulu.

Saat semua orang sibuk menyambut lebaran yang tinggal beberapa hari lagi. Para orang tua sibuk membuat kue, sedangkan pemudanya sibuk kehutan mencari meriam bambu. Akh, aku jadi merindukan masa kecilku dulu. Masa kecil tanpa gadget dan tanpa televisi. Semuanya serba natural dan alami.